Banner 468 x 60px

 

Jumat, 28 April 2017

Demokrasi Kita

0 komentar


Demokrasi Kita” ini ditulis Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) pada 1960, dan dimuat di majalah Pandji Masjarakat. Tulisan itu merupakan kritik terhadap demokrasi-terpimpinnya Presiden Soekarno. Presiden berang. Pandji Masyarakat yang memuatnya kemudian di-breidel, dilarang terbit.
Di bawah ini adalah tulisan tersebut, yang kami muat kembali dalam EYD (naskah aslinya ditulis menggunakan ejaan lama). Namun, hanya aksaranya yang kami ubah (misal: ‘j’ menjadi ‘y’). Lain-lainnya, seperti penggunaan kata depan yang harus dipisah dalam EYD, tetap kami biarkan tersambung sesuai tulisan aslinya. Beberapa istilah asing juga kami biarkan tak berubah (misal: devisen/devisa; i.c/in casu/dalam hal ini; dsb.)
Selamat membaca.

Demokrasi Kita
Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran Rakyat yang sebesar-besarnya.
Realita dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.

Tindakan-Tindakan Presiden
Apalagi sejak dua tiga tahun yang akhir ini kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Presiden, yang menurut Undang-Undang Dasar tahun 1950 adalah Presiden konstitusionil yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diganggu-gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab dengan tiada memikul tanggung jawab. Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh Parlemen dengan tiada menyatakan keberatan yang prinsipiil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden itu dengan dalil “keadaan darurat”.
Kemudian Presiden Soekarno membubarkan Konstituante yang dipilih oleh Rakyat, sebelum pekerjaannya membuat Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Menurut Undang-Undang Dasar ’45 itu Presiden Republik Indonesia adalah kepala eksekutif. Parlemen yang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum pada tahun 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sementara sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat. Golongan minorita menganggap perbuatan Presiden itu sebagai suatu tindak-perkosa, tetapi menyesuaikan dirinya kepada kenyataan yang baru itu. Dengan pendirian sedemikian Dewan Perwakilan Rakyat sudah melepaskan sendiri hak-kelahirannya.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota-anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendikiawan, tentera, dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden. Anggota-anggota partai politik yang 130 orang itu sebagian besar dipilihnya sendiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bersidang sampai sekarang, dengan menyingkirkan sama sekali anggota-anggota yang termasuk golongan oposisi.

Tugas Dewan Perwakilan Rakyat
Presiden Soekarno mendasarkan segala tindakannya itu atas pendapat, bahwa revolusi Indonesia untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur belum selesai. Sebelum tercapai Indonesia yang adil dan makmur, revolusi masih berjalan terus dan susunan yang ada itu bersifat sementara. Ia, katanya, tidak menentang demokrasi, malahan menuju demokrasi yang sebenarnya, yaitu demokrasi gotong-royong seperti yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang asli. Ia mencela demokrasi cara Barat yang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, yang sebegitu jauh dipraktikkan di Indonesia. Free fight democracy ini menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan jadi terlantar.

Demokrasi liberal itu hendak digantinya dengan apa yang disebutnya demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin, seperti yang dimaksudnya itu, ialah suatu cara bekerja yang melaksanakan suatu program pembangunan yang direncanakan dengan suatu tindakan yang kuat dibawah suatu pimpinan. Cita-cita itu harus didukung oleh kerjasama yang baik antara empat golongan besar yang berpengaruh didalam masyarakat, yaitu golongan-golongan nasional, Islam, komunisme, dan tentera. Titik berat dari pada pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi terletak pada Parlemen, melainkan pada dua badan baru yaitu Dewan Nasional, yang sekarang berubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung, dan Dewan Perancang Nasional.

Dalam sistim ini, Dewan Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan dasar hukum saja kepada keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tersebut tadi. Dengan cara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan cepat, dengan tiada bertele-tele seperti yang terjadi didalam Dewan Perwakilan Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional, berhubung dengan susunannya seperti yang ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa merupakan suatu “pressure group”, golongan pendesak.
Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, dimana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATUR yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.

Krisis Demokrasi
Oleh karena itu tidak heran, kalau banyak orang menyangka, bahwa demokrasi lenyap dari Indonesia. Tetapi pendapat semacam itu tidak benar. Itu suatu pendapat yang diperoleh dari penglihatan sepintas lalu saja atas proses politik yang berlaku di Indonesia sejak beberapa tahun yang akhir ini. Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan. Berlainan dari pada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi disini berurat-berakar didalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Apa yang terjadi sekarang ialah KRISIS dari pada demokrasi. Atau demokrasi didalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat-laun akan digantikan oleh diktatur. Ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari pada krisis demokrasi itu.

Demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai seperti yang telah berkali-kali saya peringatkan. Pada permulaan kemerdekaan, sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, orang merasai benar-benar tanggung jawabnya. Tetapi setelah kemerdekaan itu diakui oleh seluruh dunia, sebagai hasil dari pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada akhir tahun 1949, orang lupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi didalam praktik.

Semangat yang ultra-demokratis, yang merajalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai, mengubah sistim pemerintahan dari pemerintah presidensiil yang tertanam didalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi kabinet parlementer. Sistim kabinet parlementer seperti yang berlaku di Eropah Barat, dimana Pemerintah bertanggung jawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari sistim pemerintah presidensiil. Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintahan nasional yang demokratis perlu akan suatu pemerintah yang kuat. Sejarah Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan bahwa pemerintah yang kuat di Indonesia ialah pemerintah presidensiil dibawah dwitunggal Soekarno-Hatta. Lahirnya idee dwitunggal diwaktu itu bukanlah suatu hal yang dibuat-buat, melainkan suatu kenyataan yang dikehendaki oleh keadaan.

Dimasa Republik Indonesia yang pertama itu telah dicoba mengubah sistim pemerintah presidensiil menjadi sistim kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri, yang bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Alasan yang dikemukakan ialah supaya Presiden dan Wakil Presiden tetap dan tidak terganggu gugat didalam memimpin negara. Presiden dan Wakil Presiden diperlindungi oleh Kabinet yang bertanggung jawab politik yang setiap waktu dapat diganti kalau perlu. Tetapi dalam praktik ternyata bahwa bukan kabinet yang memperlindungi Presiden dan Wakil Presiden, memagari mereka dengan tanggung jawabnya, melainkan sebaliknya. Dimana-mana Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak dengan mempergunakan kewibawaannya untuk memperlindungi kabinet dari kecaman dan serangan rakyat yang tidak puas. Sampai kedalam sidang Komite Nasional Pusat Wakil Presiden terpaksa bersuara untuk mempertahankan politik Pemerintah yang digugat dan dikecam sebehat-hebatnya oleh berbagai golongan didalamnya. Dan pada saat yang genting seperti dengan peristiwa 3 Juli 1946 orang berpegang kembali kepada Kabinet Presidensiil. Demikian juga sesudah penanda tanganan Perjanjian Renville pada permulaan tahun 1948, yang menimbulkan perpecahan besar dan pertentangan politik yang hebat dalam masyarakat, orang kembali kepada pemerintah presidensiil dibawah Wakil Presiden. Pemerintah itulah yang stabil sampai pada pemulihan kedaulatan pada akhir tahun 1949 oleh Nederland.

Tetapi sesudah itu semangat ultra-demokratis muncul kembali. Dalam Undang-Undang Dasar 1950 ditetapkan sistim kabinet parlementer. Dwitunggal Soekarno-Hatta dijadikan simbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang konstitusionil, yang tidak dapat diganggu-gugat. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Dan mulai saat itu tamatlah pada hakekatnya sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia.

Pelaksanaan Demokrasi
Negara baru yang dibentuk dari menggabungkan 16 negara bagian Republik Indonesia Serikat menurut putusan KMB menjadi suatu negara kesatuan yang daerahnya meliputi seluruh Indonesia dengan Irian Barat sebagai daerah sengketa — negara baru ini akan menghadapi seribu satu soal dan kesulitan. Justeru pada saat itu dua orang yang benar-benar mempunyai kewibawaan dibebaskan dari pimpinan negara yang riil dan dijadikan simbol belaka.

Sebenarnya ada suatu pertentangan perasaan dari dalam yang sukar mengatasi. Sistim dwitunggal itu sudah menjadi suatu mitos yang mempengaruhi jalan pikiran bangsa kita. Dalam alam pikiran rakyat yang banyak, segala kesulitan akan dapat diatasi selama dwitunggal itu berada diatas pucuk pimpinan negara. Sebaliknya orang ingin mempunyai suatu sistim pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu dimana Pemerintah bertanggung jawab kepada Parlemen setiap waktu. Menurut jalan pikiran ini, diantara badan-badan yang kerjasama dalam melakukan pemerintahan, Parlemen dan Pemerintah, Parlemenlah yang terkuat. Sistim itu tidak jalan terhadap dwitunggal dengan kewibawaannya yang besar terhadap rakyat. Dalam pada itu ada pula aliran yang berpendapat bahwa figur orang yang dua itu akan menjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk maju kemuka. Ini merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu perlu mereka meluangkan tempat dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin yang lain itu.

Segala pertimbangan itu melupakan kepentingan yang lebih besar dan mendesak diwaktu itu, yaitu bahwa negara perlu akan suatu pemerintah yang kuat yang mempunyai kewibawaan besar untuk mengatasi berbagai kesulitan.

Salah satu dari kesulitan yang terutama ialah bahwa cita-cita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi pelaksanaannyalah yang kurang. Selain dari itu pengalaman dalam pemerintahan demokrasi sedikit sekali: diluar daerah Republik Indonesia yang pertama yang hanya meliputi Jawa dan Sumatera hampir tak ada. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1950 bukanlah anggota yang dipilih oleh rakyat, melainkan diangkat oleh Pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separoh berasal dari pegawai negeri yang dalam zaman Hindia Belanda tidak mempunyai pengalaman politik.

Sebab itu tidak mengherankan kalau didalam Dewan Perwakilan Rakyat itu jumlah partai politik mangkin lama mangkin banyak. Akhirnya terdapat 19 buah. Orang dapat mengira betapa sulitnya membentuk suatu Pemerintah yang akan memperoleh dukungan oleh suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat. Tiap-tiap pemerintah mempunyai corak pemerintah koalisi, tersusun dari sedikit-dikitnya 7 atau 8 partai. Alangkah sulitnya menyusun program bersama dan menyetujui orang-orang yang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau Pemerintah sudah berjalan dan kemudian ada partai dalam koalisi itu yang tidak mendapat kepuasan, lalu ia menarik menterinya keluar. Maka timbullah krisis kabinet. Kabinet jatuh karena kelemahan dari dalam, bukan karena votum dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Berkali-kali Pemerintah mengundurkan diri, tetapi belum ada yang jatuh dimuka Parlemen karena salah suatu votum tidak-percaja. Dengan sendirinya pemerintah-pemerintah semacam itu, yang setiap waktu menghadapi soal politik didalam dan diluar Dewan Perwakilan Rakjat, tidak cukup mempunyai kesempatan untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rencana yang diperbuat sudah terlantar lagi kalau Pemerintah sudah jatuh. Pemerintah yang menggantikan memikirkan lagi rencana baru.

Sesudah pemilihan umum tahun 1955, jumlah partai itu tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Ini disebabkan oleh sistim pemilihan yang terlalu demokratis. Sebenarnya tiga partai yang terbesar didalam Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama memperoleh suara terbanyak yang mutlak. Tetapi diantara Masyumi dan dua lainnya itu sukar mencapai persesuaian paham.

Kalau dinegeri-negeri yang sudah lama menjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menyalah-gunakan kekuasaan, apalagi dalam negeri yang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan, menjadi partai pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan bagi partainya. Seorang menteri perekonomian misalnya menjalankan tugasnya itu dengan memberikan lisensi dengan bayaran yang tertentu untuk kas partainya. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir atau exportir, orang yang separtai dengan dia didahulukannya. Keperluan uang untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu.

Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasa tanggung jawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, — partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya.

Juga dalam hal menempatkan pegawai pada jabatan umum didalam dan diluar negeri, orang lupa akan dasar tanggung jawab dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran, bukan dasar “the right man in the right place”. Pegawai yang tidak berpartai atau partainya duduk dibangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan menjadi patah hati. Ini merusak ketenteraman jiwa bekerja, mendorong orang kejalan curang dan korupsi mental. Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan yang sebaliknya, mengasuh orang luntur karakter. Akhirnya orang masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan.

Suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profetir maju kemuka. Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditungganginya, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela.


Sumber Tulisan: https://ngaji.net/demokrasi-kita-bung-hatta/
Sumber Gambar: http://2.bp.blogspot.com dan https://ecs7.tokopedia.net

0 komentar:

Posting Komentar

 
Santri PPKn © 2017